Daily Archives: Juni 19, 2011

Tentang ‘Nyali’ Kambing

Kambing

Kambing

Hampir setiap kali Idul Adha, di tengah kesibukan jamaah masjid memotong hewan kurban, selalu saja ada sekelompok bapak-bapak yang melakukan aktivitas ‘unik’. Letak keunikannya terjadi saat mereka secara bersama menelan empedu kambing. Biasanya, masyarakat sudah banyak yang memesan empedu untuk dikonsumsi pada saat penyembelihan hewan qurban. Bisanya ‘nyali’ kambing ini langsung ditelan saat itu juga karena diyakini berkhasiat bagi kesehatan.

Bagi yang tidak suka ‘nyali’ termasuk saya, pasti akan merasa aneh dengan pemandangan seperti itu. Jelas, tidak ada empedu yang tidak pahit. Pahit empedu melebihi pahitnya daun pepaya atau jamu Jawa yang disebut ‘broto wali’. Orang pasti jijik menelannya, belum lagi bau amisnya yang menyengat. Tapi bagi yang suka? Tentu tidak ada masalah.

Namun karena hampir semua para bapak mencicipi, maka dengan terpaksa akhirnya saya mencoba sensasi empedu itu. Tapi aneh, mungkin karena melihat orang-orang di sekitar saya begitu mudah menyantapnya. Setelah beberapa kali gagal menelan, karena bau bandot yang menyengat. Akhirnya benda sebesar ibu jari itu masuk ke perut setelah mendekap hidung erat-erat.

Sesungguhnya jika bukan karena Idul Adha, mungkin saja saya tidak akan pernah menyentuhnya seumur hidup. Mencobanya sudah tidak lagi merasakan pahit dan amisnyanya. Malah sebaliknya, setiap hari Raya Qurban itu ingin mencobanya lagi. Sebenarnya ‘nyali’ masih tetaplah pahit, namun saya yang sudah beberapa kali menelannya sudah berubah, sudah tidak lagi merasa aneh dengan rasa dan aromanya.

Empedu kambing jadi tidak terasa pahit, begitu juga baunya yang keras tidak lagi berbau. Ini bukanlah abnormal, sebaliknya bagi orang yang menyukainya tidak akan merasa menderita menyantapnya, justru akan menikmatinya. Begitu juga dengan aroma keras itu, tidak lagi merasakan baunya yang menyengat. Sebaliknya malah merasakan sensasinya. Bagi mereka yang suka boleh jadi merupakan makanan lezat di dunia.

Saya yakin pada saat pertama kali mengonsumsi empedu, tentu semua orang akan merasakan pahit dan bau, tapi lama kelamaan tidak lagi merasa pahit maupun bau. Bukan karena empedunya yang telah berubah, melainkan karena faktor sering maka menjadi terbiasa, terjadi penyesuaian, dan rasanya juga ikut berubah.

Sahabatku! Saya ingin mengatakan bahwa hal ini terjadi bukan hanya terhadap makanan, tetapi juga berlaku terhadap banyak hal. Teringat pada awal masuk taman kanak-kanak. Para siswa banyak yang tidak menyikat gigi, karena merasa repot dan tidak menyukainya, sehingga banyak yang giginya rusak. Akhirnya pihak sekolah meminta semua anak membawa sikat dan pasta gigi ke sekolah. Sang guru lalu mengajarkan cara menggosok gigi yang benar, kemudian mereka menggosok gigi bersama. Setelah dilakukan beberapa kali, semua anak sudah terbiasa, maka ketika bangun tidur di pagi hari, mereka sudah mengetahui harus menggosok gigi.

Ketika usia sudah mulai tua, tubuh mulai bertambah gemuk. Penyebab utamanya, meski asupan makanannya sama, namun aktivitas fisik sudah sangat berkurang. Olah raga yang semula digemari lambat laun mulai ditinggalkan karena kesibukan dan penurunan stamina, oleh sebab itu banyak olahragawan yang tubuhnya membengkak seiring dengan bertambahnya usia.

Hal-hal yang disukai ataupun yang tidak disukai, setelah digeluti beberapa saat, lambat laun akan terjadi penyesuaian, baik diterima ataupun tidak. Sesungguhnya kita dalam menghadapi kehidupan pun demikian, perasaan gembira saat mengalami kesuksesan ataupun menderita saat kegagalan hidup melada, maka akan sangat berbeda bagi setiap orang.

Ada orang yang sedemikian menderitanya sampai pada taraf “lebih suka tidak dilahirkan”, ada juga yang bergembira sampai pada taraf “mati pun tidak akan menyesal”. Perbedaan ini timbul terutama karena perbedaan kemampuan menyesuaikan diri dan perbedaan kelenturan untuk menerima benturan.

Ketika kehidupan seseorang menjadi pahit dan berbau seperti halnya empedu, sebenarnya dia tidak mempunyai pilihan lain, suka atau tidak suka harus dihadapi, karena tidak akan dapat dihindari. Yang dimaksudkan dengan “dihadapi” di sini adalah “cara penanganannya”, baik mundur menghindar ataupun menekuni dengan teguh, sama halnya seperti saat menghadapi ‘nyali’, mau disantap atau tidak.

Sahabatku! Di sini saya tidak membahas prinsip besar yang hebat, bukan pula untuk memecahkan masalah besar dalam kehidupan, hanya agar pada suatu saat kita dapat berpikir menggunakan sudut pandang yang berbeda untuk menyesuaikan diri, selain sisi pahit kehidupan empedu ternyata masih terdapat sisi lain kehidupan “empedu yang tidak pahit”.

—Idul Adha dalam Kenangan—
ust. Aidil Heryana