Monthly Archives: Maret 2010

Nasi Pecel 7,5 Juta Rupiah

Suatu Sabtu yang terik itu, ribuan manusia berkumpul di salah satu jantung kota Jakarta. Mayoritas mereka berpakaian putih, ah ada pula yang berpakaian coklat muda. Dan ada pula anak-anak yang ikut.
Ya, mereka sedang mengadakan semacam demonstrasi damai. Mereka menyebut aksi mereka munashoroh, sebuah unjuk gerakan untuk kepedulian untuk sebuah keprihatinan. Untuk seseorang yang jauh di belahan bumi sana. Untuk sebuah wilayah demografi yang dinamai Palestina. Munashoroh Palestina.
Panitia mengatur acara sedemikian rupa, khas orang-orang itu dalam menyelenggarakan acara. Kombinasi dari gerakan, bergerak, orasi, yel/lantang suara nyanyian -yang mereka sebut nasyid, orasi, dan penggalangan dana.
Ada kisah yang menarik pada saat sesi penggalangan dana. Semoga saya tidak salah menceritakan. Entah sudah orang keberapa yang menceritakan hal ini, namun bagi saya tetap saja menarik.
Mulailah sesi penggalangan dana, petugas dari panitia mulai beredar, berkeliling menghampiri peserta munashoroh Palestina yang jumlahnya ribuan. Mengikuti dan menyiapkan mental pada munashoroh Palestina, peserta munashoroh mulai mengulurkan sebagian rejeki mereka hari itu. Mereka paham sekecil pun dana yang tersalur akan menjadi penyambung detak kehidupan bagi rakyat Palestina. Bencana kemanusiaan, kalimat yang lebih halus daripada kejahatan perang, membelenggu kehidupan Palestina dan mengoyak negara itu menjadi 2 otoritas dalam 2 wilayah geografis. Blokade ekonomi dan kemanusiaan dan aneksasi militer adalah dinding tebal dan panjang yang terlihat namun kadang diabaikan.
Peserta munashoroh memahami hal ini. Tiada yang bisa mereka lakukan, saat ini, kecuali doa dan sejumput rejeki ilahi yang bisa dibagi. Itupun sebuah penyesalan yang diiringi airmata.
Satu persatu panitia bergerak. Menggelar sorban, membawa kotak, berkeliling entah berapa lama diantara ribuan orang yang memenuhi tempat itu. Tak sedikit yang mengulurkan uang ribuan, dua puluh ribuan, lima puluh ribuan dan ratusan ribu.
Setiap orang berlomba dengan pertanyaan dalam hati masing-masing. Apa yang bisa kuberikan? Apa yang kubawa hari ini? Apakah sejumlah ini cukup untuk membeli susu anak-anak Palestina? Dan seterusnya, riuh pertanyaan itu menggelayut dalam benak ribuan orang.
Hingga satu orang itu terpaku saat sang panitia melintas di depannya, sambil sembab dan menyesal. Ia mengulurkan sebungkus. Ya sebungkus, yang isinya nasi pecel. Saya tidak tahu, apakah itu bekal makan siangnya atau makan pagi atau bekal siapa. Dan saya pun tidak tahu apakah karena ia tidak mempunyai uang. Namun saya hanya tahu, ia memberikannya kepada panitia.
Sang panitia itu hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ada rona keikhlasan disana. Ada pancaran keindahan dari sebungkus nasi pecel itu. Sang panitia itu berlalu, meneruskan tugasnya. Entah kemana orang yang memberikan nasi pecel tadi. Hilang ditelan kerumuman ribuan orang.
Sebagian orang pun bertanya, apa yang bisa diberikan dari nasi pecel ke rakyat Palestina? Kenapa hanya nasi pecel? Tidakkah ia tahu, saat ini mengirimkan uang akan lebih berguna daripada nasi pecel? Yang belum tentu nasi pecel itu masih segar ketika sampai di Palestina. Pertanyaan itu berdengung.
Saat panitia kembali ke panggung utama. Saat memberikan orasi, tiba-tiba terjadi hal yang tidak biasa.
Diumumkanlah perolehan nasi pecel tadi. Semua orang yang mendengar tersenyum, apa yang bisa diperbuat dari sebungkus nasi pecel kepada rakyat Palestina.
Dan yang terjadi dalam menit berikutnya sungguh luar biasa. Panitia melelang sebungkus nasi pecel tadi di hadapan ribuan peserta munashoroh Palestina. “Sepuluh ribu!” teriak satu peserta. “Dua puluh ribu!, teriakan dari sisi lain. “Seratus ribu! sahut yang lain entah darimana. Terus, dan terus teriakan angka itu bersahut-sahutan. Angka itu semakin besar. Sempat terdengan lima ratus ribu. Yang ini bahkan sampai satu juta.
Saya amat sangat yakin, orang yang memberikan nasi pecel tadi tidak menyangka jika nasi pecel bisa dihargai sampai satu juta rupiah. Saya juga yakin, nasi pecel itu hanya bernilai tidak lebih dari sepuluh ribu. Dan saya lebih yakin lagi, orang yang menertawakan tadi akan semakin melebar senyum mereka. Mereka menyadari kepongahan mereka. Mereka tidak menyadari harga keikhlasan yang ditunjukkan Allah siang hari itu. Saat itu juga.
Sahabat, bisakah anda menebak berapa nasi pecel itu terlelang? Ya, 7,5 juta rupiah, tujuh juta lima ratus ribu rupiah. Rekor fantastis untuk sebungkus nasi pecel. Saya pun hanya bergumam, nasi pecel paling mahal sepanjang sejarah. Namun begitulah Allah memberikan ibroh, pelajaran bagi ribuan masyarakat.
Saya tidak berani membayangkan ekspresi si pemberi nasi pecel tadi. Saya hanya berani membayangkan mereka yang mempertanyakan arti sebungkus nasi pecel itu. Mereka ditegur Allah atas peremehannya terhadap sebungkus nasi pecel. Mereka merasa sejumlah uang akan lebih berguna daripada sebungkus nasi pecel. Namun Allah membalik logika itu, dan terjadilah nasi pecel itu jauh dinilai dengan sejumlah uang. Dan sampailah nasi pecel itu ke rakyat Palestina dengan nilai yang berlipat ganda.
Sahabat, sedikit cerita dari munashoroh Palestina di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Namun juga memberikan gambaran pada kita keikhlasan akan memberikan nilai tersendiri yang tidak terbayang sebelumnya. Pemberian yang sedikit belum tentu akan sedikit membantu.
Dalam pembahasan lain, saya berpikir, inilah wujud dari hukum ketertarikan, law of attraction. Kebaikan kecil, hanya sebungkus nasi pecel, bisa menarik kebaikan lain yang lebih besar. Jadi apa yang akan menghalangi sahabat untuk berbuat baik?
Bahkan jikapun kiamat akan terjadi besok pagi dan sekarang akan menanam pohon, tanamlah! Kebaikan akan tetap menjadi kebaikan jika itu dilakukan, bukan diwacanakan, meskipun besok adalah ujung dunia.
Sahabat, sudahkah anda melakukan kebaikan hari ini? Jika belum, tersenyumlah kepada orang. Senyum adalah kebaikan karena senyum adalah shodaqoh. Dengan ikhlas, maka kebaikan lain akan datang dan terjadi. Perhatikanlah apa yang akan terjadi!