Dirgahayu Republik Indonesia


Bendera berkibar di Gn Papandayan

Bendera berkibar di Gn Papandayan Foto seorang teman di Gn Papandayan

Kakek saya masih tercatat sebagai anggota TNI AD, yang kemudian berpindah menjadi pegawai PJKA, yang sekarang bernama PT KAI. Jadi yang paling seneng dan sering merasakan naik kereta api dan gratis, adalah ibu saya 😀
Kakek saya dari ayah, adalah pejuang hizbul wathon, sayap pemuda dari Muhammadiyah. Jadi kedua kakek saya, sangat lanyah jika bercerita tentang bagaimana perjuangan dalam penjajahan Belanda.‎
Semua cerita, sadar atau tidak, mengendap dalam dalam otak. Tidak banyak yang nyambung, entah usia SD, SMP, SMU, sampai di perkuliahan.
Saya masuk tanpa tes, dan tetiba ikut paskibra. Dengan pendidikan paskibra yang semi militer, kemudian di tahun saya juga masih ada penataran P4 untuk mahasiswa baru. Meski tahun berikutnya tidak ada lagi. Tapi sukses mengantarkan bentuk kecintaan saya pada negara dan bangsa ini dengan cara yang agak berbeda.

Di perkuliahan, saya ketemu berbagai gerakan mahasiswa. Mulai new-left sampai ujung kanan, ada semua. Saya? Masih menjadi pengamat sambil belajar, meski ada kecenderungan untuk sedikit ke kanan. Seiring waktu saya belajar, tidak ada ideologi murni, dan semuanya berinteraksi. Dalam tataran praktis, lebih rumit lagi, karena sangat tergantung konteks kultur, geografi, dan lainnya.
Indonesia? Kulturnya yang unik, saya percaya hampir semua ideologi ada semua, terlepas besar atau tidak dari sisi pengusungnya.

Sampai saya bekerja,
Yang berada di Papua, saya melihat sendiri, teori sosiologi tidak mutlak. Konflik sosial masyarakat Papua dengan pendatang, antar pendatang, isu kemerdekaan Papua, semua nyata. Disini saya belajar, mempertahankan Papua adalah pelajaran paling berharga setelah kehilangan Timor Timur, karena NKRI bukanlah opsi.‎

Sampai suatu saat, saya terbang ke luar negeri, saya menghayati lantunan lagu Tanah Airku, ciptaan Ibu Soed, dalam kabin pesawat. Seingat saya, juarang sekali saya terpicu emosi dari sebuah lagu, dan saya tahu persis kenapa saya keluar negeri, dan kenapa saya kembali ke Indonesia. Karena saya tahu Tanah Airku….
Saya juga sangat merindukan lagu Rayuan Pulau Kelapa‎, dan menemukan konteksnya, pada saat di Palu. Saya mengilustrasikan;
Di Palu, waktu mengalami anomali. Semua berjalan lambat, apatah lambaian pasir, nyenyaian daun kelapa, bahkan sekedar memilah dan memilih bawang. Kenapa? Palu adalah sepenggal pulau kelapa.
Kemudian, suatu saat, saya berperjalanan darat dari Luwuk Timur ke Makassar, dan sepanjang jalan adalah saya memeluk pinggang pulau kelapa. Sangat nikmat, saya berteman angin pantai ba’da Subuh, sambil menikmati hangat saraba dan bercengkrama dengan merbot masjid, hanya di pulau kelapa.

‎…………..
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku‎
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan‎
…………..‎

Dirgahayu Republik Indonesia, Indonesiaku!


Tanah Airku – Angklung Hamburg Orchestra ft. Gita & Paulus‎


Posted from WordPress for Android running on Blackberry 10

About ihdaihda

a husband, a father, SHE practitioner (OHSAS, NOSA, EMS), SHE trainer & consultant, hobi di applied psychology, financial planning, sharing, life enlightening. alumni Hiperkes UNS dan saya aseli Kudus :)

Posted on Agustus 16, 2015, in pencerahan and tagged , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar