Monthly Archives: Mei 2010

Padang, Pedasnya…..

Ini merupakan perjalanan saya yang kedua untuk tujuan kota Padang. Dan tetap saja pemilihan penerbangan sore ternyata tetap ngantuk! Pada perjalanan pertama saya juga mengantuk, namun bukan karena tidak mau belajar dari pengalaman yang pertama. Semata-mata lebih suka bermain bola dengan anak-anak daripada harus browsing sendirian di lounge untuk menunggu pesawat pagi.

Satu hal yang lumayan meringankan beban, menu makanan dalam pesawat sama sekali tidak mencerminkan cita rasa kota Padang, tidak pedas! Ya, penerbangan pertama saya, baik menuju Padang dan perjalanan pulang benar-benar ciri khas kota Padang, mie yang pedas dan pulangnya bermenukan nasi goreng yang tak kalah pedas. Saya hanya berbaik sangka, inilah cita rasa, kekhasan yang ingin diangkat oleh maskapai penerbangan untuk tujuan kota Padang. Hanya saya kok tidak bisa membayangkan, jika maskapai ini bermenukan ikan kuah kuning, bubur menado, papeda, dan rawon setan, demi memberikan sentuhan lokal pada beberapa tujuan penerbangan. Well, setidaknya penerbangan kedua ini menunya passenger friendly, setidaknya untuk saya, roti isi daging ayam. Dan saya pun, membayangkan teman-teman saya di kota Padang pasti akan tertawa membaca ini. Apalagi setelah berhasil membuat saya menjadi merah jambu dengan sate padang. Pengalaman yang menarik bagi saya šŸ™‚

Di perjalanan saya yang pertama, saya pun harus bertanya nama bandara di kota Padang. Saya hanya tahu BIM. Ternyata Bandara Internasional Minangkabau. Selalunya saya berasumsi nama bandara biasanya, sekali lagi biasanya, adalah nama pahlawan setempat. Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, Hasanuddin Makassar, Adi Sucipto Jogja, dan lainnya. Ternyata saya harus menjelajah negara ini untuk mengetahui detail dan keunikan masing-masing.

Mengenang kembali perjalanan pertama saya, meluncur dari BIM dengan jemputan oleh Shara dan pak Dodik, teman baik saya di kota Padang, langsung menuju warung sate padang padang. Saya anggap ini sebagai welcoming-food. Dan benar-benar welcome! Maksudnya saya benar-benar ketemu dengan sate padang aseli dengan rasa pedas yang aseli juga. Semoga tidak ada yang mengabadikan bentuk, rona dan kepedesan yang saya alami, namun saya kok membayangkan kurang lebih seperti kepiting yang direbus, perlahan warna bergerak ke arah merah jambu. Pedesnya ndak ketulungan. Di Jakarta? Mana ada sepedes itu. Shara benar-benar tertawa, ya menertawai saya. Sebagai orang Padang asli, Shara hanya menganggap pedesnya belum seberapa. “Ini baru bumbu coklat, belum bumbu merah”, katanya. “Wah, terima kasih deh, saya lebih baik makan ketupatnya doang daripada berjuang untuk bumbu merah”, sambil cengar-cengir.

Saya tidak lulus tes menjadi orang Padang. Alhamdulillah istri saya bukan orang Padang, setidaknya tidak terlalu repot dalam hal masakan šŸ™‚
Bukan saya tidak suka pedes, hanya saja saya lebih suka makan cabe segar dan utuh tentunya, daripada masakan pedes. Setidaknya saya punya keunikan šŸ™‚

Dan malam pertama di Padang di hotel pantai, saya lalui dengan menuntaskan keinginan untuk tidur dan menyerah sepenuhnya pada dekapan malam. Meski kamar hotel agak berbau rokok. Toh saya harus menyerah karena memang tidak dipisah antara non-smoking/smoking room. Ya mau gimana lagi. Oh ya, koneksi WiFinya tidak lebih kencang daripada koneksi GPRS. Alamat tidak bisa berinternet ria, nasib lagi.

Hari pertama bekerja di kota Padang, dan mengingat pengalaman pedesnya sate padang, akhirnya makan siang cukup fast food ayam goreng. Menyedihkan? Yup, kalo cuma fast food ya di Jakarta juga banyak. Namun apa daya, maksud hati juga ingin berwisata kuliner, lidah belum bisa diajak kompromi. Musti di-adjust dulu pada perjalanan kedua nih.

Makan malam di pinggir pantai. Sebenarnya eksotis dan saya sudah membayangkan seribu tiga suasana makan malam yang menyenangkan. Namun apa daya, pinggir pantainya tidak cukup diterangi cahaya. Dan posisi warung lesehan seafood-nya memang menghadap ke jalan dan membelakangi pantai.
Warungnya dikonstruksikan dari kayu dan bambu dengan model rumah panggung. Bagian belakang, yang berbatasan dengan pantai disekat dengan tirai bambu. Saya menikmati angin laut, bau air laut yang asin, deburan ombak, namun sayang gelap abis. Saya kok membayangkan jika lampu ditata dengan baik, eksotisnya akan lebih ter-eksplor dengan lebih sip. Jadinya saya benar-benar membelakangi pantai untuk makan, sesuatu yang agak aneh menurut saya untuk lesehan seafood di pantai.

Pulangnya, kami memutari pelabuhan yang bisa membawa turis ke kepulauan Nias. Masih sama, gelap. Namun samar masih terlihat kilauan air, pagar pelabuhan. Dan tentunya penjual telur penyu disepanjang pagar pelabuhan.
Menariknya, mitos lho, katanya telur penyu bisa tahan 12 jam. Apanya yang 12 jam? Saya pun bingung, lebih baik tanya ke temen-temen Padang. Siapa tahu ada jawabannya. Telur penyu dibungkus sekitar 50 biji, dijual sekitar 60 ribuan. Semoga belum naik, mengingat rupiah sedang turun *semoga nyambung*
Jika berminat, sepanjang pagar pelabuhan berjejer para penjualnya.

Hari kedua, makan siang agak mendingan. Kami, ya saya dan teman-teman Padang, makan di rumah makan Padang. Aha! Saya pikir tidak ada rumah makan Padang. Seperti halnya warteg di Jakarta buaanyak, namun rada susah nyari di Tegalnya. Nah yang ini, ada lengkap dengan kekhasan rumah makan Padang yang biasa saya temui di seantero kota di Indonesia.

Menarik bagi saya adalah desain rumah makan yang ‘kotemporer’ tidak menganut lazimnya desain rumah adat Minang, atau setidaknya sama dengan rumah makan Padang di Jakarta. Bergaya modern semi minimalis, ornamen dinding garis lembut melintas dinding berwarna emas, namun dengan latar dinding merah bata. Paduan yang apik, namun bagi saya ini sesuatu yang baru untuk sebuah rumah makan Padang.

Pintu kaca berornamen, beberapa sisi bangunan terbuat dari kaca utuh, melengkapi kesan minimalis modern. Dan kursi maupun meja menggunakan bahan alumunium dan alas fiber, menambah kesan ringan dan lapang di rumah makan tersebut.

Makanannya? Bagi saya sangat friendly šŸ™‚ Ya lagi-lagi saya harus menyesuaikan dengan tingkat pedesnya. Meski Shara tetap berkomentar, kurang pedes. Iya buat dia yang aseli Padang. Bagi saya, ya cukuplah.

Nah akhirnya, menu yang bener-bener friendly muncul di makan malam hari kedua.
Yiiippppiiiiiieeee Es Durian! Ya es durian! Durian yang harum, berwarna kuning muda, diblend menjadi saos, masing lengkap dengan seratnya. Akhirnya!
Dan Shara pun tetap tertawa, “akhirnya ada yang user friendly”.

Es durian, melihat isinya adalah es tebak dengan saos durian dan susu kental manis. Tebak? Semacam potongan kecil singkong yang sudah direbus. Empuk, rasa khas singkongnya terasa sekali. Mengingatkan saya pada makanan di area Jawa Tengah. Hanya saat ini menjadi es tebak dan tercampur dengan dinginnya es dan baluran saos durian.
Saos duriannya, tak perlu diceritakan lagi. Durian tetap durian, harus, menggoda, memabukkan šŸ™‚ Dan katanya di kota Padang, paling mahal 15 ribu! Sudah yang paling gedhe di saat tidak musim durian. Jika musim durian, harganya pada kisaran 5 ribuan. Untuk seukuran saya yang maniak durian, harga yang wow.

Mau tahu harga durian di ujung Indonesia? Dengan diameter 15CM bisa mencapai 40 ribu, dengan rasa yang agak aneh. Dan pernah karena sedang kumat dengan durian, saya membeli durian impor di dept store seharga 150 ribu, bulat utuh. Karena saat itu tidak bisa langsung dimakan, saya masukkan freezer. Hasilnya saya mempunyai batu es berdiameter 25CM dengan bentuk dan aroma durian. Perlu waktu 2 hari untuk mencairkannya, dan saya harus makan durian berkuah.

Oleh karenanya, mendapatkan durian ditengah perjalanan dinas ini sangat menyenangkan. Setidaknya tidak pakai pedes šŸ™‚

Rasa yang tidak perlu ditanyakan lagi. Es durian tetap menjadi menu wajib bin recommended untuk saya bekerja di kota Padang.
Dan saya harus membungkus untuk dibawa ke Jakarta. Meski harus berjibaku untuk menyimpannya dalam lemari es di hotel. Dan ajaibnya, disimpan di lemari es 6 jam di hotel, perjalanan pesawat 2 jam dan perjalanan darat menuju rumah 1 jam, tidak melelehkan es durian. Memang ajib es durian ini!

Muter kota Padang? Sayangnya ndak sempat. Beberapa pekerjaan yang harus selesai di Padang, meeting di Jakarta sudah menunggu dan beberapa agenda di beberapa kota lain sudah ngantri juga. Jadilah sambil jalan ngantor, sambil jalan makan, saat itulah sempetnya melihat dan menyusuri jalanan kota Padang, menjadi penumpang tentunya. Disuruh bawa mobil sendiri? Bisa tidak balik nyasar entah kemana.

Sebuah petualangan baru di kota Padang, untuk pertama kalinya. Dan meski rada repot dengan pedesnya, toh saya mendapatkan tugas negara untuk kembali ke kota Padang. Dan disinilah saya sekarang, ya menulis tentang kota Padang pada perjalanan saya yang pertama 3 pekan yang lalu. Dibilang tidak punya waktu, ya ngeles lagi sih, namun sempetnya menulis catatan ini justru di pesawat menuju Padang pada kali kedua. Begitulah….

Second flight story? Abis ini deh, masih kerja, kudu fokus šŸ™‚ Banyak hal yang bisa diceritakan, lebih menarik dengan pilihan menu dan kosa kata baru. Lamak nian……